Sabtu, 14 Juni 2014


I.     PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Pertanian dalam arti luas mencakup pertanian rakyat atau pertanian dalam arti sempit disebut perkebunan (termasuk didalamnya perkebunan rakyat dan perkebunan besar), kehutanan, peternakan, dan perikanan (dalam perikanan dikenal pembagian lebih lanjut yaitu perikanan darat dan perikanan laut). Indonesia masih merupakan negara pertanian, artinya pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya penduduk yang hidup atau bekerja pada sector pertanian atau dari produk nasional yang berasal dari pertanian.
Sektor pertanian merupakan sektor yang strategis dan berperan penting dalam perekonomian nasional dan kelangsungan hidup masyarakat, terutama dalam sumbangan hasil produk pertanian terhadap PDB, penyedia lapangan kerja dan penyediaan pangan dalam negeri. Untuk Hasil-hasil produk pertanian di butuhkan peran dari tataniaga hasil pertanian, dimana tataniaga merupakan suatu  aktivitas bisnis yang didalamnya terdapat aliran barang dan  jasa dari titik produksi sampai ke  titik  konsumen. Tataniaga pertanian juga merupakan salah satu faktor pertanian untuk memperlancar proses produksi, distribusi dan pemasaran hasil produk pertanian.
Sifat hasil dari pertanian yang musiman atau tahunan akan mempengaruhi pola harga hasil pertanian, sehingga menyebabkan fluktuasi harga antar musim bahkan anar tahun dapat berpengaruh pula pada pemasarannya (Suyono dan Dwi Purwastuti). Pada umumnya untuk hasil pertanian yang musiman dan mudah rusak (sayuran dan buah – buahan) memerlukan penanganan khusus, baik dalam penyimpanan maupun dalam pengangkutannya, salah satunya adalah dengan menggunakan ruangan pendingin. Sementara itu, untuk produk pertanian yang relatif tidak mudah rusak seperti beras, jagung, dan kedelai, maka dalam penyimpanannya membutuhkan sistem peyimpanan yang baik untuk mengurangi resiko kerusakan (Suyono dan Dwi Purwastuti ).
Produktivitas hasil pertanian selalu mengalami fluktuasi, sedangkan harga hasil pertanian ditingkat prodesen cenderung mengalami peningkatan yang cukup tinggi, hal ini diduga berkaitan dengan rendahnya produktivitas dari hasil pertanian. Singh dalam Sahara (2001) mengatakan bahwa fluktuasi harga yang tinggi di sektor pertanian merupakan suatu fenomena yang umum akibat ketidakstabilan (inherent instability) pada sisi penawaran. Hal ini berarti harga hasil pertanian disebabkan oleh sifat alami dari produksi pertanian, yaitu dalam jangka pendek tidak dapat merespon tambahan permintaan atau tidak dapat mengurangi produksi pada saat harga yang rendah. Pengaruh fluktuasi harga pertanian lebih besar bila dibandingkan dengan fluktuasi produksi. Keadaan ini dapat menyebabkan petani menderita kerugian dalam jangka pendek sehingga menimbulkan kurangnya keinginan untuk melakukan investasi di sektor pertanian atau petani akan beralih ke komoditas yang memiliki harga jual yang lebih tinggi.
Selanjutnya banyaknya lembaga tataniaga yang terlibat dalam pemasaran hasil pertanian akan mempengaruhi panjang pendeknya rantai tataniaga dan besarnya biaya tataniaga. Besarnya biaya tataniaga akan mengarah pada semakin besarnya perbedaan harga antara petani produsen dengan konsumen. Hubungan antara harga yang diterima petani produsen dengan harga yang dibayar oleh konsumen pabrikan sangat bergantung pada struktur pasar yang menghubungkannya dan biaya transfer. Apabila semakin besar margin pemasaran ini akan menyebabkan harga yang diterima petani produsen menjadi semakin kecil dan semakin mengindikasikan sebagai sistem pemasaran yang tidak efisien (Tomek and Robinson, 1990).
Persoalan mutu dan harga hasil pertanian merupakan bagian dari masalah tataniaga hasil pertanian yang tidak dapat dipisahkan karena mempunyai dampak langsung terhadap pihak-pihak yang terkait dalam perdagangan hasil pertanian. Selain itu keberadaan lokasi lahan pertanian yang terpencar-pencar dan jauh dari pusat perekonomian yang mengarah pada terbentuknya rantai tataniaga yang panjang karena adanya peran hierarki dari pedagang perantara yang cenderung menambah kompleksitas upaya perbaikan mutu hasil pertanian.

B.  Tujuan
1.    Untuk mengidentifikasi pola kenaikan dan penurunan harga hasil pertanian secara periodik (bulanan) untuk beberapa komoditas di tingkat produsen, glosir, dan pedagang pengecer.
2.    Untuk mengukur keefisienan dan keefektifan sistem pemasaran di antara dua pasar dalam mekanisme pembentukan harga, sehingga dapat ditunjukan ada atau tidaknya adanya integrasi pasar pada kedua pasar tersebut.

C.  Manfaat
1.    Dapat mengetahui pola kenaikan dan penurunan harga hasil pertanian secara periodik (bulanan) untuk beberapa komoditas, ditingkat produsen, grosir, dan pedagang pengecer.
2.    Dapat mengetahui Efesiensi harga dan menghitung Efesiensi harga.










II.  METODE
A.  Jenis Analisis Data
Jenis analisis data dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk melihat gambaran umum dan khusus dari lokasi, saluran pemasaran dan struktur pasar. Analisis kuantitatif untuk melihat keragaan pasar dengan analisis marjin pemasaran serta penyebarannya. Sedangkan efisiensi pemasaran akan dilihat melalui analisis organisasi pasar, analisis marjin pemasaran, analisis korelasi harga, dan analisis elastisitas transmisi harga.

B.  Cara Mendapatkan Data
Data mengenai fluktuasi harga beras kami dapatkan dengan cara mewawancarai beberapa responden pedagang beras di Pasar Wage dan Pasar Ajibarang. Hal ini dilakukan agar mandapatkan data yang valid. Kami mengunjungi Pasar Wage pada hari Senin, 18 November 2013 pukul 05.00. Setelah menemui beberapa responden di Pasar Wage, kami mendapatkan informasi bahwa jika ingin mengetahui harga mengenai beras yang lebih detail kami harus mengunjungi Pasar Ajibarang, karena di Pasar Ajibarang lebih banyak memasok berbagai jenis baras. Pada pukul 07.00 kami menuju Pasar Ajibarang. Kemudian mendatangi beberapa pedagang beras lalu kami wawancarai. Selain Pasar Ajibarang yang kami kunjungi untuk mendapatkan data mengenai harga dan saluran pemasaran beras kami juga mendatangi




III.  HASIL TUGAS
A.  Identifikasi Pola Harga Beras dan Jati

Harga  sejumlah komoditas pangan seperti beras, cabai, tomat dan kentang memang rentan berubah-rubah, cenderung mengalami kenaikan yang cukup tajam. Padahal, dari aspek pasokan dan permintaan tidak ada kejadian luar biasa yang memicu kenaikan harga begitu tinggi. Harga beras pada tahun 2011 yang di kala normal berkisar Rp. 7000 per kilogram sampai Rp. 8000 per kilogram, namun kini pada tahun 2012 harga bulanan beras berkisar Rp. 8000 per kilogram, dan pada awal tahun 2013 harga beras sudah berada pada kisaran mendekati Rp. 8500 per kilogram. Memang, tidak kurang dari FAO (badan dunia yang mengurusi persoalan pangan) sendiri menyebutkan bahwa kenaikan harga pangan di berbagai belahan dunia tahun ini adalah yang tertinggi sejak tahun 1990 yang dilansir Metro TV beberapa waktu lalu. Sehingga kenaikan harga pangan tidak hanya melanda Indonesia tetapi merebak ke berbagai negara lainnya, termasuk negara maju. Hanya saja di Indonesia instabilitas harga pangan cukup tinggi, sangat fluktuatif bahkan kenaikannya bisa melebihi 20% seperti yang terjadi pada harga beras baru-baru ini dan hingga kini. Fenomena harga pangan di Indonesia paling dipengaruhi tiga penyebab signifikan yang membuat harga pangan naik tajam, yaitu :
1.             Pertama, faktor cuaca atau iklim. Perubahan iklim menjadi salah satu penyebab terganggunya proses produksi. Harga pangan sangat kuat dipengaruhi faktor cuaca. Anomali cuaca terjadi tidak hanya di Indonesia tetapi hampir di seluruh belahan dunia.
2.             Kedua, akibat permainan oknum pelaku pemasaran ditingkat distribusi. Mereka memanfaatkan kondisi buruknya cuaca dan berbagai situasi kekinian seperti kenaikan tarif dasar listrik (TDL), gaji, pembatasan subsidi BBM dan sejumlah isu lainnya. Para pelaku pemasaran pangan dari mulai pengumpul (tengkulak) di tingkat desa, kabupaten, provinsi, sampai pedagang besar antar pulau atau pedagang antar provinsi mengeksploitasi situasi untuk meraih keuntungan yang sangat besar. Seorang pemerhati pertanian mengatakan jika karena cuaca dampak pada harga tidak begitu signifikan paling hanya lima sampai sepuluh persen.
3.             Ketiga, antisipasi dan manajemen pengelolaan yang baik. Sikap antisipatif hendaknya menjadi budaya kerja mulai dari elite pejabat hingga aparat di lapangan. Cuaca dan permainan oknum di tingkat pemasaran bila diantisipasi secara tepat dan cermat tidak akan berimplikasi terlalu buruk terhadap kekacauan masalah pangan.
4.             Adanya perayaan hari – hari besar keagamaan, dan lain-lain. Serta adanya permintaan produk pertanian.
Kendati pihak Kementerian Pertanian (Kementan RI) pada awal Maret 2013 menjamin harga beras turun, tapi faktanya di sejumlah daerah harga beras fluktuatif, bahkan secara nasional bergerak naik. Pihak Kementan RI mengasumsikan, bahwa Maret 2013, masih dalam musim panen sehingga tidak perlu khawatir. Secara umum, harga beras dalam negeri stabil di atas Rp 7.000 per kilogram. Harga beras di Jawa Tengah (Jateng) misalnya, hingga Maret 2013 mencapai Rp 7.469 per kilogram, angka itu tidak terpaut jauh dibanding periode pada tahun lalu yang mencapai Rp 7.814 per kg. Kondisi ini dinilai positif karena memberikan keuntungan bagi petani.
Namun, faktanya mulai bulan Januari 2010 – Maret 2013 (Minggu III), trend harga Beras Kualitas Medium cenderung meningkat 0,91% di kabupaten sentra produksi dan 1,19% di kota besar. Bahkan, pada bulan Maret 2013 harga merata dibandingkan dengan bulan Februari 2013 di Kabupaten sentra produksi menurun 1,25%, dan di beberapa Kota Besar menurun 1,10%. Harga rerata pada bulan Maret 2013 dibandingkan dengan Maret 2012 di kabupaten sentra produksi meningkat 4,56% dan di beberapa kota besar meningkat 7,19%.
Gambar 1.1
Mengkonfirmasi data Ditjen PPHP Kementan RI, perkembangan harga rerata beras di tingkat nasional periode tahun 2011- 2013 dapat dilihat pada Gambar 1.1. Pada tahun 2011 dan 2012, harga beras cenderung memiliki pola yang sama yaitu terjadi penurunana harga pada bulan Maret dan April serta mulai meningkat pada bulan Mei sampai dengan periode akhir tahun. Harga beras di tahun 2013 menunjukkan tingkat harga yang berada di atas kisaran harga tahun 2011 dan 2012. Harga rerata beras bulan Maret 2013 adalah Rp.8 .367 per kilogram sedikit menurun dari bulan sebelumnya.
Gambar 1.2
Perkembangan harga rerata mingguan beras selama bulan Maret 2013 berdasarkan pantauan dari Kementerian Perdagangan cenderung stabil di beberapa kota di Indonesia, kecuali di Bandung dan Semarang cenderung sedikit menurun pada akhir bulan. Harga beras (IR 64) tertinggi terjadi di Samarinda minggu IV sebesar Rp. 9.038 per kilogram. Sementara harga terendah terjadi di Makasar (Irri–I) sepanjang bulan Maret sebesar Rp. 7.500 per kilogram.
Beras merupakan bahan pangan pokok yang sampai saat ini masih dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Jumlah masyarakat yang mengkonsumsi beras ini menunjukkan ketergantungan masyakarat pada beras. Hal ini menyebabkan persoalan beras selalu menjadi salah satu isu penting di masyarakat.
Persoalan beras di Indonesia juga merupakan isu sentral yang berpengaruh terhadap kebijakan ekonomi nasional. Ketersediaan dan pemerataan distribusi beras serta keterjangkauan oleh daya beli masyarakat merupakan persoalan yang nampaknya belum bisa diatasi sampai sekarang. Beras sendiri memiliki nilai strategis dalam memantapkan ketahanan pangan, ketahanan ekonomi, dan ketahanan/stabilitas politik nasional. Pengalaman tahun-tahun sebelumnya dan bahkan masa sekarang ini, menunjukkan harga pangan yang melonjak tinggi dapat menimbulkan goncangan di masyarakat, sehingga isu mengenai persoalan beras ini selalu menjadi perhatian serius pemerintah dan masyarakat (Surono, 2001).
Berbeda dengan tanaman jati yang merupakan tanaman tahunan, perbedaan harga dari tahun ke tahun tidak terlalu signifikan. Hal tersebut dikarenakan budidaya jati yang membutuhkan waktu yang lama, tidak dapat dipanen setiap tahun. Dan merupakan produk pertanian yang tahan lama. Tanaman Jati (Tectona grandis Linn.f.) merupakan tanaman yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan memiliki prospek yang bagus di masa mendatang serta merupakan pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Secara teknis, kayu jati memiliki kelas kekuatan I dan kelas keawetan I. Kayu ini sangat tahan terhadap serangan rayap. Meskipun keras dan kuat, kayu jati mudah dipotong dan dikerjakan, sehingga disukai untuk membuat furnitur dan ukir-ukiran. Oleh sebab itu kayu jati sangat diminati oleh konsumen. Tidak hanya konsumen dalam negeri, konsumen luar negeri juga sangat menggemari jati sebagai bahan baku furnitur.  
Menurut Fauzan (2011) harga kayu jati untuk kualitas jati medium adalah Rp 6,5 juta /. Kebutuhan jati tiap tahun terus meningkat, untuk memenuhi permintaan tersebut upaya penanaman kembali sangat diperlukan karena penebangan yang tidak diikuti dengan penanaman kembali jelas akan berdampak terjadinya kerusakan dan penurunan produksi. Oleh karena itu, tanaman jati perlu mendapat perhatian tersendiri.
Harga kayu jati sangat dipengaruhi oleh faktor diameter kayu. Artinya, semakin besar diameternya maka harga per kubiknya juga akan semakin mahal, begitu juga sebaliknya. Harga kayu jati dengan diameter 16-19 cm (A1) tentu berbeda (lebih murah) daripada kayu jati yang berdiameter 22-28 cm (A2), dan kayu jati yang berdiameter 30-39 cm (A3). Khusus untuk kayu jati perhutani, selain diameter kayunya, harga kayu juga dipengaruhi oleh ukuran panjang batangnya. Semakin panjang ukuran batangnya (potongan lognya) maka semakin mahal harganya. Misal untuk kayu dengan panjang < 2 meter tentu lebih murah dibanding harga kayu jati dengan panjang 2 meter ke atas.
Berikut adalah harga kayu jati pada tahun 2013 yang diambil dari harga rata-ratanya:
1.  Harga kayu jati A1 ( diameter 16 - 19 cm) berkisar antara 2,5jt – 2,8 jt per m³.
2.  Harga kayu jati A2 ( diameter 22 - 28 cm ) berkisar antara 3,4 jt – 3,6 jt per m³.
3.  Harga kayu jati A3 ( diameter 30 - 39 cm ) berkisar antara 5,5 jt – 5,8 jt per m³.
4.  Harga kayu jati A4 ( diameter 40 - 49 cm ) berkisar antara 7 jt – 7,5 jt per m³.
Dibawah ini merupakan harga produksi kayu jati di Jawa Tengah pada tahun 2011  yang kami ambil sebagai contoh.
Produksi Kayu Jati Menurut Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH)
di Jawa Tengah Keadaan Februari Tahun 2011 (m3)
Teakwood Product by Location The Timber
in Jawa Tengah February 2011 (m 3 )
                                                                                                                    
Gambar 1.3
B.  Efisiensi Harga Beras dan Jati
Efisiensi tataniaga dapat diukur melalui dua cara, yaitu efisiensi harga dan efisiensi operasional. Menurut Dahl dan Hammond (1977), efisiensi operasional menunjukkan biaya minimum yang dapat dicapai dalam pelaksanaan fungsi dasar tataniaga, yaitu pengumpulan, transportasi, penyimpanan dan pengolahan, distribusi dan aktivitas fisik, serta fasilitas. Pendekatan efisiensi harga adalah melalui analisis tingkat keterpaduan pasar, sedangkan pendekatan efisiensi operasional melalui marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio biaya dan keuntungan tataniaga.
Dalam strukur pasar persaingan sempurna, harga di dua pasar yang terpisah akan saling berpengaruh sebagai akibat dari respon terhadap perubahan permintaan, penawaran, dan kekuatan ekonomi lainnya. Kecepatan  dan ketepatan perubahan reaksi harga terhadap perubahan unsur ekonomi tersebut dapat digunakan sebagai indikator tingkat keeratan hubungan dalam mekanisme pembentukan harga antar pasar. Suatu sistem pemasaran yang mengindikasikan harga-harga yang saling berhubungan erat antar pasar dapat disebut dengan sistem yang efisien dan efektif.
Data berikut adalah data harga beras untuk periode waktu 12 bulan di dua pasar pada tingakat yang berbeda (pasar induk dan pasar lokal) yang dianalisis dengan menggunakan regresi sederhana.
PASAR LOKAL
Harga beras per kilogram
Pada tahun 2013
Nama Komoditas
Bulan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
IR 64
8600
8600
9500
9200
8500
8500
8500
8700
8500
8400
8500
8500

PASAR INDUK
Harga beras per kilogram
Pada tahun 2013
Nama Komoditas
Bulan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
IR 64
7500
7500
9000
8800
7500
7500
8800
8500
8200
8000
8000
8000

Pengujian Transmisi Harga dengan Regresi Sederhana :
P1 = bo +
Keterangan :
P1 = Harga pasar lokal
P2 = Harga pasar induk
bo dan b1 = koefisien regresi
Ø    Transmisi harga beras IR 64
Rata – rata harga beras IR 64 di Pasar Lokal : Rp. 8600/kg dan rata – rata harga beras IR 64 di pasar induk Rp. 8100/kg.
Pasar Lokal :
(8600 – 8600) + (8600 – 8600) + (9500 – 8600) + (9200 – 8600) + (8500 – 8600) + (8500 – 8600) + (8500 – 8600) + (8700 – 8600) + (8500 – 8600) + (8400 – 8600) + (8500 – 8600) + (8500 – 8600)
                                                            12
= 1
Pasar Induk :
(7500 – 8100) + (7500 – 8100) + (9000 – 8100) + (8800 – 8100) + (7500 – 8100) + (7500 – 8100) + (8800 – 8100) + (8500 – 8100) + (8200 – 8100) + (8000 – 8100) + (8000 – 8100) + (8000 – 8100)
                                                            12
= 1
Interpretasi :
Bedasarkan data yang kita dapat dari lembaga dinas perdagangan, harga komoditas beras untuk tahun 2013 harga stabil pada tiap bulannya pada kisaran Rp8600/kg (pasar lokal).
Bedasarkan data dari narasumber rata – rata harga komoditas beras untuk tahun 2013 berkisar dari harga Rp.8100/kg (pasar induk).
Dalam perhitungan Transmisi harga kelompok kami menggunakan b1 = 1, dikarenakan terjadinya Trasmisi harga antara pasar induk dan pasar lokal atau dapat dikatakan ada integrasi pasar.
Simpulan : pada perhitungan Transmisi harga kelompok kami ada Transimisi harga antara pasar induk dan pasar lokal, contoh : bila ada kenaikan di pasar induk, maka akan berpengaruh kepada pasar lokal. Karena antara pasar induk dan  pasar wage ada keterkaitan walaupun pengiriman beras di pasar wage tidak dari pasar induk di jakarta namun jika harga di pasar induk naik maka harga di pasar lokalpun naik. Berarti kooefisien regresi tersebut positif.
























III.  SIMPULAN
1.         Harga pada komoditas beras identifikasi harga pada tahun 2013 di Purwokerto tidak stabil karena adanya pengaruh sifat hasil pertanian, adanya perubahan cuaca dan iklim, permintaan produk pertanian sepanjang tahun, dan juga stabilitas ekonomi daerah terganggu sehingga menyebabkan harga menjadi fluktuasi,
2.         Dalam menganalisis efesiensi harga pasar lokal terhadap pasar induk ternyata ada integrasi diantara pasar tersebut. Karena mempengaruhi harga kedua pasar tersebut. Walaupun pengiriman beras di pasar wage tidak dari pasar induk di jakarta namun jika harga di pasar induk naik maka harga di pasar lokalpun naik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar